Guru Adalah Human Rights Defender: Mengapa Mereka Tidak Mendapat Hak Imunitas Seperti Pejuang Lingkungan?

Penulis : Masroh Mario Sitohang
Dalam berbagai peristiwa hukum di Indonesia, kita sering mendengar bahwa aktivis lingkungan atau pembela hak asasi manusia (Human Rights Defender/HRD) mendapat pengakuan dan perlindungan khusus, bahkan dalam beberapa kasus aktivis lingkungan mendapat hak imunitas terhadap tuntutan hukum yang bersifat kriminalisasi. Namun, di tengah semua itu, muncul pertanyaan mendasar: mengapa guru—yang sejatinya juga berperan sebagai pembela hak asasi manusia, khususnya hak atas pendidikan—tidak mendapatkan perlindungan serupa?
Guru sebagai Human Rights Defender
Guru adalah garda terdepan dalam penegakan hak atas pendidikan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 31 UUD 1945 dan Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005. Dalam peran ini, guru bukan hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga membentuk karakter, mengajarkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan.
Peran ini selaras dengan definisi Human Rights Defender menurut Deklarasi PBB Tahun 1998, yaitu individu yang, secara damai, memperjuangkan dan melindungi hak asasi manusia dan apabila kita telaah secara jernih maka penulis simpulkan; Guru termasuk dalam kategori ini.
Kesenjangan Perlindungan Hukum
Di Indonesia, aktivis lingkungan mendapat perlindungan berdasarkan beberapa regulasi, seperti :
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 66: pejuang lingkungan tidak dapat dituntut pidana/perdata atas upaya memperjuangkan lingkungan hidup).
Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum Bagi Orang Yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup.
Komnas HAM dan LPSK juga memberi perlindungan terhadap HRD yang menghadapi ancaman. Namun, guru yang memperjuangkan pendidikan atau melaporkan praktik korupsi, diskriminasi, hingga pelecehan di institusi pendidikan justru kerap dikriminalisasi. Tidak sedikit guru dilaporkan karena “mencemarkan nama baik”, “melanggar disiplin ASN”, atau bahkan “melanggar UU ITE” saat mengkritisi kebijakan dunia pendidikan.
Mengapa Perlindungan Imunitas Diperlukan untuk Guru?
Posisi Rentan Secara Struktural
Guru berada dalam struktur birokrasi yang hierarkis, seringkali membuat mereka tidak leluasa menyuarakan kebenaran dan apabila menyuarakan/ mengkritisi Perilaku Dunia pendidikan tentulah menuai resiko.
Peran Strategis dalam Masyarakat
Guru mendidik generasi bangsa. Apabila mereka dibungkam atau ditakut-takuti dengan kriminalisasi, maka hak anak-anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan berpikiran kritis ikut terancam.
Preseden Perlindungan Profesi Lain
Jaksa, hakim, anggota DPR, dan bahkan aktivis lingkungan mendapatkan hak imunitas dalam menjalankan fungsi profesionalnya. Maka, mengapa guru tidak
Urgensi Perubahan Regulasi
Sudah saatnya negara mengakui guru sebagai bagian dari Human Rights Defender dan memberikan perlindungan hukum khusus, termasuk hak imunitas dalam konteks profesional, sebagaimana diatur dalam :
– UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13/2006), yang bisa diperluas cakupannya.
– Perubahan pada UU Guru dan Dosen, agar mencantumkan klausul perlindungan terhadap kriminalisasi atau represi ketika menjalankan fungsi edukatif dan pembentukan karakter.
Sebagai Penutup, Jika kita mengakui bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia, maka kita juga harus mengakui bahwa guru adalah pembela hak asasi manusia. Perlindungan terhadap mereka bukan hanya soal keadilan, tapi juga investasi terhadap masa depan bangsa. Sudah waktunya ada kebijakan afirmatif baik dalam bentuk regulasi maupun kebijakan kelembagaan untuk melindungi guru dari kriminalisasi dan tekanan struktural yang membungkam suara kebenaran.